Desakan Penutupan Ponpes Ibadurrahman Menguat Usai Skandal Seksual Terbongkar

admin

Perwakilan Tim Reaksi Cepat Perlindungan Perempuan dan Anak (TRC PPA), Sudirman

Kabaristimewa.id, Kutai Kartanegara – Skandal kekerasan seksual yang mengguncang Pondok Pesantren Ibadurrahman kembali menjadi sorotan publik setelah Rapat Dengar Pendapat (RDP) digelar oleh Komisi IV DPRD Kutai Kartanegara, Selasa (26/8/2025). Dalam forum resmi tersebut, fakta mencengangkan terungkap: pelaku kekerasan adalah anak kandung dari pimpinan pesantren itu sendiri. Fakta ini disampaikan langsung dalam pertemuan yang dihadiri oleh berbagai pihak, termasuk perwakilan korban.

Sudirman, yang mewakili Tim Reaksi Cepat Perlindungan Perempuan dan Anak (TRC PPA) sekaligus bertindak sebagai kuasa hukum para korban, menanggapi pengakuan tersebut dengan kritis. Ia menilai bahwa pengakuan saja tidaklah cukup untuk menunjukkan tanggung jawab moral maupun hukum dari pihak pesantren. “Hari ini beliau gentleman mengakui pelaku adalah anak kandungnya. Tapi apa gunanya pengakuan tanpa tanggung jawab konkret?” ujar Sudirman di hadapan peserta rapat.

Baca juga  Target Pemulihan Jalur Tenggarong-Loa Kulu Akhir 2024, Solusi Sementara Terus Dimaksimalkan

Ketegasan Sudirman bukan tanpa alasan. Menurutnya, para korban dan keluarga justru mengalami tekanan psikologis yang berat usai kasus ini mencuat ke publik. Aksi intimidasi, katanya, dilakukan oleh oknum-oknum dari pesantren yang kerap mendatangi lingkungan rumah korban. Situasi ini membuat keluarga merasa tidak aman bahkan hingga mengunci rapat-rapat pintu rumah mereka.

“Ini fakta, bukan opini. Mereka wara-wiri di depan rumah korban, membuat keluarga panik sampai menutup pintu rapat-rapat dan meminta tetangga merekam video. Kalau ini bukan teror, lalu apa?” lanjut Sudirman menggambarkan suasana mencekam yang dialami keluarga korban sehari-hari.

Lebih jauh, TRC PPA menegaskan bahwa pihak pondok pesantren tidak semestinya melakukan kontak langsung dengan para korban. Sudirman menyampaikan bahwa pertemuan yang dilakukan oleh orang-orang dari lingkungan pesantren, alih-alih memberi dukungan, justru memperparah trauma yang sudah dialami. “Kalau alumni datang memberi semangat, itu lain. Tapi kalau orang pesantren yang datang, itu intimidasi. Kami akan halangi supaya korban tidak kembali disakiti,” katanya.

Baca juga  Isran Noor Panen Kelengkeng di Balai Benih Indukan Hortikultura Terbaik se-Indonesia, Lokasinya Ada di Desa Batuah

Langkah yang diambil pihak pesantren dengan sekadar ‘memblokir’ pelaku dari aktivitas ponpes dianggap tidak menyelesaikan masalah. TRC PPA mendesak agar tindakan lebih konkret dilakukan, termasuk mempertimbangkan pencabutan izin operasional pondok pesantren. Sudirman menilai bahwa pembiaran hanya akan memperpanjang penderitaan korban dan mencoreng nama baik lembaga pendidikan Islam secara umum.

“Jangan sampai anak pimpinan itu kembali berkeliaran di lingkungan pesantren. Kalau Kemenag berani menutup ponpes lain, mengapa Ibadurrahman dibiarkan? Kalau memang harus dibekukan izinnya, lakukan! Itu satu-satunya jalan,” ujar Sudirman, menunjukkan kekecewaannya atas lambannya respons dari otoritas terkait.

Baca juga  Dispora Kukar Perkuat Ekonomi Kreatif Lewat Program Kewirausahaan Pemuda

Hingga saat ini, TRC PPA telah mendampingi delapan korban dari kasus kekerasan seksual ini. Meskipun satu dari mereka memilih bungkam karena tekanan dari keluarga, tujuh lainnya terus berjuang untuk mendapatkan keadilan. Tekanan sosial, budaya, dan minimnya perlindungan masih menjadi tantangan besar dalam mendampingi proses pemulihan mereka.

Sudirman mengingatkan bahwa kasus ini bukan hanya soal reputasi lembaga, melainkan menyangkut keselamatan dan masa depan anak-anak yang seharusnya dilindungi di lembaga pendidikan keagamaan. “Pesantren seharusnya membina moral, bukan menghancurkan hidup korban. Kalau tidak ada jaminan ruang aman, eksistensi pesantren itu tidak ada artinya,” pungkasnya dengan nada kecewa.

Berita-berita terbaru

Tinggalkan komentar